Rabu, 06 April 2011

Foto Ketika Masih SMA

Kasus Meruya diselesaikan dengan ligitasi


 penyelesaian sengketa pertanahan yang dilakukan dengan jalur litigasi                      Dalam hal terjadi sengketa, cara penyelesaian menurut hukum disediakan dua jalur yang dapat digunakan oleh pihak-pihak bersengketa untuk mendapatkan keadilan., yaitu:
a.   Jalur litigasi atau lewat pengadilan,
                 Penyelesaian melalui Badan Peradilan berdasarkan UU No. 14/1970 jo UU No. 35/1999 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman; umumnya penyelesaian ini diajukan ke peradilan umum yang diatur dalam UU No.2/1986 tentang Peradilan Umum atau apabila yang disengketakan adalah produk tata usaha negara atau yang digugat pejabat Tata Usaha Negara melalui Peradilan Tata Usaha Negara yang diatur dalam UU No. 5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, atau apabila menyangkut tanah wakaf diajukan ke Pengadilan Agama.
b.   Jalur non-litigasi
1.      Perundingan/musyawarah (negotiation), penyelesaian secara langsung oleh para pihak dengan musyawarah. Dasar dari musyawarah untuk mufakat ini tersirat dalam Pancasila sebagai dasar kehidupan bermasyarakat Indonesia dan juga tersirat dalam UUD 1945.
2.      Konsiliasi
3.      Mediasi
4.      Arbitrase, penyelesaian sengketa bisa melalui mekanisme Arbitrasi dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution); dengan telah diundangkannya UU No. 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, maka terdapat suatu kepastian hukum untuk mengakomodasi cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum.
                      Penggunaan salah satu jalur tersebut ditentukan oleh konsep tujuan penyelesaian sengketa yang tertanam di pikiran pihak-pihak yang bersengketa, kompleksitas serta tajamnya status sosial yang terdapat dalam masyarakat, dan budaya atau nilai-nilai masyarakat.
                     

Kedua jalur penyeleseaian sengketa tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangannya.

c.   Penyelesaian Sengketa Tanah Melalui Ligitasi (Pengadilan)
                      Dalam praktik hukum di Indonesia, pada umumnya semua sengketa pertanahan dapat diajukan ke pengadilan baik dalam lingkup peradilan umum maupun peradilan tata usaha negara. Namun harus diakui, penggunaan lembaga peradilan untuk menyelesaikan suatu sengketa pertanahan kerapkali menyisakan banyak kekurangan/kelemahan, yang mana secara umum kekurangan/kelemahan ini apabila ditinjau dari aspek ekonomi merupakan salah satu komponen yang mengakibatkan munculnya ekonomi biaya tinggi.
                      Berperkara di pengadilan pada umumnya dirasakan sebagai proses yang memakan waktu, tidak sederhana, dan tidak murah biayanya. Hal ini sering diperparah dengan kendala yang bersifat organisatoris dan Kendala non-yuridis berupa campur tangan pihak-pihak di luar lembaga yudikatif dengan dampak keluarnya keputusan yang menyimpang dari arti hakiki pengadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan bagi pencari keadilan. Karena itu, dapat dipahami, penyelesaian sengketa di pengadilan merupakan pilihan terakhir.
                      Beberapa kritik yang sering kali dilontarkan terhadap lembaga peradilan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Imamulhadi bahwa proses penyelesaian melalui jalur pengadilan (ligitasi) memiliki banyak kelemahan, seperti :
  1. Ligitasi memaksa para pihak berada pada posisi yang ekstrim dan memerlukan pembelaan;
  2. Ligitasi mengangkat seluruh persoalan dalam suatu perkara, sehingga mendorong para pihak untuk melakukan penyelidikan terhadap kelemahan-kelemahan pihak lainnya;
  3. Proses ligitasi memakan waktu yang lama dan biaya yang mahal;
  4. Hakim seringkali bertindak tidak netral dan kurang mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan yang mendasari penyelesaian suatu masalah hukum baru.
                      Salah satu kasus yang kami bahas adalah kasus sengketa tanah Meruya Jakarta Selatan yang awalnya terjadi pada tahun 1972 dan mencuat pada tahun 2007.


d.      Penyelesaian Sengketa Tanah Dengan Jalan Ligitasi  Studi Kasus di Meruya Jakarta Selatan
Kasus tersebut bermula dari rencana eksekusi oleh pemilik hak atas tanah yaitu PT Portanigra, yang membeli tanah tersebut seluas 44 Ha sekitar tahun 1972 yang lalu dari Juhri cs sebagai koordinator penjualan tanah Rencana eksekusi yang akan dilakukan oleh PT Portanigra mendapatkan perlawanan dari masyarakat yang menempati tanah yang telah memiliki tanda bukti kepemilikan atas tanah dimaksud. Juhri Cs, ternyata setelah menjual tanah tersebut kepada PT Portanigra, menjual lagi tanah itu kepada perorangan, Perusahaan , Pemda dan berbagai instansi. Masyarakat dan berbagai instansi yang membeli dari Juhri Cs kemudian memiliki berbagai tanda bukti hak (sertifikat) atas tanah itu. Atas tindakan Juhri Cs, pengadilan telah menetapkan bahwa tindakan Juhri Cs adalah bertentangan dengan hukum, dan mereka telah dipidana pada tahun 1987 – 1989 atas perbuatan penipuan, pemalsuan dan penggelapan
PT Portanigra, dengan penguatan putusan pidana kepada Juhri Cs,  kemudian menggugat secara perdata Juhri cs, untuk mengembalikan tanah-tanah tersebut sekaligus meminta pengadilan untuk meletakkan sita jaminan atas tanah mereka, yang luasnya 44 Hektare. Permohonan sita jaminan dikabulkan oleh hakim dengan penetapan sita jaminan No. 161/Pdt/G/1996/PN.Jkt.Bar tanggal 24 Maret 1997 dimasukkan dalam berita acara sita jaminan tanggal 1 April 1997 dan tanggal 7 April 1997. Pengadilan Negeri pada tanggal 24 April 1997 menyatakan gugatan PT Portanigra tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard--N/O) karena tidak menyertakan para pemilik tanah lainnya di atas tanah sengketa tersebut.Hakim juga memerintahkan pengangkatan sita jaminan tersebut. Pengadilan Tinggi menolak banding Portanigra dan menguatkan putusan Pengadilan Negeri. Namun, di tingkat kasasi, MA membatalkan putusan PN dan PT serta memutuskan untuk mengadili sendiri. Berdasarkan putusan Kasasi No. 570/K/Pdt/1999 jo.No.161/Pdt.G/1996/PN.JKT.BAR, Mahkamah Agung menerima kasasi  PT Portanigra. Pertimbangannya antara lain ialah bahwa pihak ketiga akan dapat melakukan bantahan (verzet) terhadap sita jaminan atau pelaksanaan eksekusi bila memiliki bukti untuk mempertahankan haknya.
            Ketika PT Portanigra akan melaksanakan eksekusi atas tanah tersebut, setelah mendapat penetapan dari pengadilan Jakarta Barat pada tahun 2007, dia memperoleh perlawanan dari masyarakat, dan berbagai institusi pihak ketiga, yang memiliki tanda bukti hak atas tanah tersebut. Tanda bukti hak yang dimiliki perorangan, maupun institusi beragam mulai dari hak milik, hak pakai, hak guna usaha dan sebagian diletakkan dengan hak tanggungan. Perlawanan yang diajukan oleh pemegang hak atas tanah (yang sifatnya tidak melalui jalur hukum seperti verzet) memperoleh dukungan moral dan politis dari berbagai lapisan masyarakat seperti Parlemen, Pemda, Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) dan lain-lain. Karena kasus ini, telah melebar dan meluas melebihi porsi hukum dan khususnya keperdataan, dan mulai mengarah ke hal-hal yang berkaitan dengan stabilitas, politik, keamanan dan lain-lain, akhirnya PT Portanigra untuk sementara setuju untuk tidak melaksanakan eksekusi.

e.       Duduk perkara sengketa pertanahan tanah Meruya
Apabila diikhtisarkan  dari berbagai pemberitaan diatas dan kutipan-kutipan putusan pengadilan, maka sengketa tanah di atas dapat dipetakan sebagai berikut :
       1.    Ada klaim kepemilikan ganda atas suatu objek yang sama. Kepemilikan PT Portanigra didasarkan pada perjanjian jual beli dengan pemilik tanah asal yang dikoordinir oleh Juhri Cs. Bukti kepemilikan tanah dalam rangka jual beli itu adalah girik yang diserahkan kepada pembeli. Pembelian tanah dikukuhkan dengan akta jual beli. Tahapan lanjut untuk pendaftaran tanah dan sertifikasi tanah belum dilaksanakan.
       2.    Tanah yang sama oleh Juhri cs, kemudian dijual lagi kepada Perorangan, Badan-badan Hukum dan Pemda. Beberapa kali peralihan tanah telah terjadi oleh pembeli tingkat kedua, seperti Pemda yang menjual sebagian tanah tersebut kepada masyarakat, ataupun perorangan yang memperjual belikan tanah itu kembali.
       3.    Tanah-tanah yang dibeli oleh perorangan, Badan-badan Hukum, Pemda dari Juhri Cs maupun yang kemudian dialihkan oleh para pembeli tersebut kepada pihak lain, dilengkapi dengan akta jual beli, serta didaftarkan dan memperoleh sertifikat tanah.
       4.    Pengadilan memutuskan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Juhri Cs, dalam menjual kembali tanah-tanah tersebut adalah melawan hukum. Girik yang digunakan dalam transaksi jual beli adalah palsu, karena girik yang asli telah diserahkan kepada PT Portanigra. Pengadilan memutuskan pidana penggelapan dan pemalsuan kepada Juhri Cs.
       5.    Pengadilan mengabulkan  kasasi perdata PT Portanigra kepada Juhri Cs
       6.    Juhri Cs merencanakan untuk mengajukan PK (Peninjauan Kembali) atas putusan kasasi Mahkamah Agung



f.    Kronologis Sengketa tanah Meruya Selatan Jakarta
                                 1972-1973                     :           Portanigra membeli tanah dari Juhri Cs totalnya seluas 44 Ha.
                                 1974-1977                     :           Juhri menjual kembali tanah-tanah tersebut, antara lain kepada Pemda, dengan menggunakan surat palsu.
                                 1 Nopember 1985          :           Juhri dihukum penjara satu tahun, karena dengan sengaja menggunakan surat palsu.
                                 2 Desember 1987           :           Yahya yang juga terlibat dihukum dua bulan oleh PN Jakbar
                                 1989                              :           M.Y. Tugono dihukum penjara selama satu tahun karena terbukti melakukan penggelapan.
                                 24 Maret 1997               :           PN mengabulkan permohonan penetapan sita jaminan Portanigra setelah mengajukan gugatan Perdata kepada Juhri Cs.
                                 1,  24 April 1997                      PN Jakbar menyatakan gugatan Portanigra tidak dapat diterima, serta mengangkat penetapan sita jaminan.
                                 30 Oktober 1997           : PT menguatkan putusan PN, juga menyatakan tidak dapat menerima gugatan.
                                 31 Maret 2000           :        MA menerima kasasi Portanigra dengan Surat Putusan MA No.570/K/Pdt/1999 dan No.2863K/PDT/1999 tertanggal 26 Juni 2001
                                 26 April 2007                 :           Rapat koordinasi pelaksanaan eksekusi pengosongan Tanah Meruya Selatan Selatan di PN Jakbar.
                                 21 Mei 2007                  :           Eksekusi 15 hektar lahan
                                 1 November 2007          :           Warga Meruya Selatan sepakat berdamai dengan PT. Portanigra di dalam sidang Pengadilan Negeri Jakarta Barat.
                                 Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat mengeluarkan surat eksekusi bernomor 11/2007 Eks. Jo.No.364/PDT/G/1996/PN.JKT.BAR yang isinya meminta warga yang menempati tanah tersebut harus hengkang sebelum tanggal 14 Januari 2009, karena pada tanggal itu akan terjadi eksekusi tanah di wilayah tersebut.

g. Analisis Kasus
1.      Kepastian dan perlindungan hukum bagi pembeli pertama (PT Portanigra)
Berdasarkan landasan teori pada bab sebelumnya, apabila dengan melihat kepada transaksi jual beli tanah, dapat diberikan analisis sebagai berikut :
a.      Transaksi jual beli tanah antara PT Portanigra dengan Juhri Cs adalah sah
b.      Transaksi jual beli tanah antara PT Portanigra dengan Juhri Cs, yang tidak atau belum dilanjutkan dengan pendaftaran tanah untuk mendapatkan sertifikat tanah, membawa akibat hukum bahwa bukti kepemilikan PT Portanigra atas tanah tersebut belum lengkap
c.      Akta jual beli berdasarkan akta otentik adalah sah, sepanjang menyangkut penyerahannya. Dengan demikian, kepemilikan yang dipunyai PT Portanigra adalah kepemilikan yang bersifat kebendaan, bukan kepemilikan yang bersifat hak perorangan.
d.      Kasasi yang dikabulkan oleh Mahkamah Agung, sifatnya adalah pemulihan hak kebendaan atas tanah tersebut. Untuk mendapatkan hak milik, maka PT Portanigra harus melanjutkan dengan prosedur normal dengan  melakukan pendaftaran tanah untuk mendapatkan sertifikat hak

Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, menurut penulis terdapat beberapa hal yang perlu dikritisi yaitu :
a.      Fakta hukum bahwa PT Portanigra tidak memiliki sertifikat tanah, kecuali akta jual beli selama lebih dari 30 tahun mengindikasikan bahwa proses perolehan tanah tersebut dari awal adalah bermasalah
b.      Fakta hukum bahwa PT Portanigra menggunakan putusan pidana kepada Juhri Cs sebagai alas gugatan perdata dapat dibenarkan. Namun, gugatan tersebut dapat dikualifikasikan sebagai error in persona, maupun error in substantia, karena faktanya Juhri Cs tidak pernah berstatus lagi sebagai pemilik tanah, sedangkan transaksi jual beli tanah yang dilaksanakannya tanpa hak telah dinyatakan tidak sah oleh Pengadilan. Gugatan seharusnya dibuat terhadap pihak-pihak yang menduduki tanah tersebut, dan juga kepada Pemerintah c/q BPN (Badan Pertanahan Nasional) yang telah menerbitkan berbagai hak di atas tanah yang merupakan miliknya kepada orang lain tanpa seizinnya.
c.      Menjadi pertanyaan pula, kenapa dalam tenggang waktu yang sedemikian lama, PT Portanigra tidak melakukan proses hukum untuk perolehan hak atas tanah dengan memohonkan pendaftaran tanah dan sertifikasi, tetapi lebih memilih jalur gugatan kepada Juhri Cs yang sebenarnya tidak lagi memiliki hubungan hukum dengan tanah tersebut.
2.      Kepastian dan perlindungan hukum bagi Juhri cs
a.      Juhri Cs telah menerima hukuman pidana atas perbuatan penggelapan dan pemalsuan surat-surat tanah dan surat-surat lainnya dalam rangka jual beli tanah kepada pihak lainnya
b.      Juhri Cs telah mengembalikan uang yang timbul dari hasil penjualan kembali tanah tersebut melalui negara.
c.      Juhri Cs tidak mempunyai klaim kepemilikan apapun lagi atas tanah tersebut.
d.      Juhri Cs berencana akan melakukan perlawanan dengan mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan kasasi Mahkamah Agung
Sehubungan dengan hal-hal tersebut, penulis memberikan komentar sebagai berikut :
a.      Hukuman pidana dan pengembalian uang yang dilakukan oleh Juhri Cs adalah membuktikan bahwa mereka tidak dalam kapasitas yang sah untuk melakukan transaksi penjualan kembali tanah yang bukan merupakan miliknya
b.      Status uang yang dikembalikan patut dipertanyakan. Uang tersebut tidak dikembalikan kepada PT Portanigra, maupun kepada masyarakat atau Pemda yang membeli tanah melalui Juhri Cs. Uang yang dikembalikan adalah jasa untuk urusan memperlancar jual beli yang ternyata tidak lancar, bukan uang hasil penjualan tanah.
c.      Upaya hukum Peninjauan Kembali ( PK) yang akan ditempuh oleh Juhri Cs juga kehilangan justifikasi dan pijakan hukumnya. Atas dasar apa Juhri Cs mengajukan PK. Juhri Cs bukan merupakan pemilik tanah. Tanah tidak dalam penguasaan Juhri Cs. Bukti-bukti kepemilikan tanahpun tidak ada pada Juhri Cs. Sepanjang menyangkut enforceability (daya paksa) dari putusan kasasi mahkamah agung, tidak mempunyai pengaruh apa-apa terhadap Juhri Cs.

3.      Kepastian dan perlindungan hukum bagi pembeli dari Juhri Cs
a.      Pembeli tanah dari Juhri Cs, baik perorangan, Badan Hukum maupun Pemda telah melakukan transaksi jual beli dengan akte otentik, pendaftaran tanah, hingga memperoleh sertifikat tanah
b.      Pengalihan tanah dari para pembeli awal, kepada pembeli kemudian, serta para pihak yang saat ini secara nyata menduduki baik secara hukum maupun konkret, telah berlangsung sesuai dengan aturan dari Pemerintah.
c.      Para pihak yang menduduki dan memiliki hak atas tanah saat ini, di atas lahan sengketa, memiliki kepemilikan hak yang beragam seperti hak milik, hak pakai, hak guna bangunan, maupun hak tanggungan
d.      Hukum melindungi para pembeli dengan itikad baik[16]. Dalam hukum berlaku satu asas, yaitu bahwa kejujuran itu dianggap ada pada setiap orang, sedangkan ketidak jujuran harus dibuktikan.[17]
e.      Hukum juga memberi perlindungan absolut dan relatif, karena kepemilikan pada pihak-pihak yang menduduki tanah tersebut saat ini adalah kepemilikan kebendaan maupun kepemilikan perorangan
   
4.      Tanggungjawab Pemerintah atas terbitnya sertifikat tanah di atas lahan sengketa
Pemerintah, dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional harus dapat dimintai pertanggungjawaban atas terbitnya sertifikat di atas lahan sengketa.
Putusan pengadilan perdata dan pengadilan pidana yang tidak dijadikan refensi mengakibatkan proses sertifikasi tetap dapat diteruskan. Hal tersebut dapat disimpulkan dari kronologi fakta hukum berikut :
a.     1985– 1987 : Pengadilan Pidana telah menghukum Juhri Cs (tiga orang, dengan tiga berkas kasus) , atas kejahatan pemalsuan dan penggelapan girik dan kuitansi dalam proses jual beli tanah yang telah dijual sebelumnya kepada PT Portanigra
b.      Maret 1997 Hakim Pengadilan Perdata mengabulkan permohonan sita jaminan atas tanah sengketa
c.       April 1997 Hakim Pengadilan Negeri, menolak gugatan perdata PT Portanigra dengan N/O  atau tidak dapat menerima gugatan, dan meminta agar gugatan diperbaiki kembali dengan memperluas pihak tergugat. Namun, sekaligus juga memutuskan untuk mengangkat atau membatalkan sita jaminan yang sebelumnya telah diletakkan pada tanah sengketa.
d.      Oktober 1997, Pengadilan Tinggi memperkuat dan sependapat dengan Pengadilan Negeri
e.       Juni 2001, Mahkamah Agung menerima kasasi PT Portanigra.
                   Menurut penulis, akar persoalan dalam perkara ini adalah dari pengadilan dan birokrasi sendiri, sebagai berikut :
Persoalan yuridis dalam putusan ini ada dua yaitu :
a.      Pengadilan negeri dan pengadilan tinggi pada dasarnya tidak memeriksa pokok perkara, namun mengembalikan kepada penggugat untuk memperbaiki dan melengkapi gugatan. Namun pada saat yang sama, meniadakan sita jaminan yang telah diputuskan sebelumnya. Hal ini lah yang membuat Badan Pertanahan Nasional dapat memproses lanjut permohonan sertifikasi yang diajukan masyarakat.
                        Pengadilan negeri dan pengadilan tinggi menolak gugatan sudah benar, namun tindakan pengadilan negeri yang dikuatkan oleh pengadilan tinggi dalam mengangkat sita jaminan yang sebelumnya adalah tidak tepat. Bagaimana pengadilan dapat memutuskan untuk mengangkat sita jaminan sedangkan pokok perkaranya sendiri tidak atau belum diperiksa.
b.      Amar Putusan Kasasi yang mengabulkan permohonan PT Portanigra, pada dasarnya menyatakan bahwa sita jaminan dianggap sah dan berharga, Juhri Cs melakukan perbuatan melawan hukum sekaligus wanprestasi. Selain itu menyatakan Portanigra sebagai pemilik yang sah atas tanah sengketa berdasarkan bukti-bukti, serta menghukum Juhri Cs dan semua orang yang mendapatkan hak dari mereka untuk mengosongkan tanah-tanah milik adat tersebut dan menyerahkannya dalam keadaan kosong kepada Portanigra.
                        Putusan kasasi yang memperluas akibat putusan kepada orang-orang yang tidak merupakan pihak dalam perkara gugatan menurut penulis tidak tepat. Dalam konstruksi hukum perdata pada pasal 1340 dinyatakan bahwa suatu perjanjian tidak dapat membawa rugi kepada pihak-pihak ketiga, dan juga tak dapat pihak-pihak ketiga mendapat manfaat karenanya.
                        Putusan kasasi yang menyatakan bahwa sita jaminan adalah sah, adalah tepat. Namun memeriksa dan memutuskan gugatan dimana gugatan meliputi pihak-pihak yang tidak diikutkan sebagai tergugat serta adalah tidak tepat. Benar bahwa pihak ketiga yang berkepentingan dapat menempuh upaya hukum perlawanan atau verzet. Cara ini dibenarkan apabila akibat suatu putusan membawa akibat kepada pihak ketiga yang bukan tergugat, dan dalam pokok gugatan tidak menyinggung pihak ketiga tersebut. Dalam kasus PT Portanigra, pokok gugatannya telah meliputi pihak-pihak lain di luar Juhri Cs, namun tidak diikutkan sebagai tergugat serta.
             Sedangkan persoalan yang terkait dengan birokrasi juga ada dua yaitu :
a.      Dalam perkara pidana, telah diketahui bahwa terdapat pemalsuan dan penggelapan atas surat-surat jual beli yang dilakukan oleh Juhri Cs. Seyogianya aparat birokrasi di BPN harus menggunakan fakta hukum tersebut untuk tidak memproses pendaftaran tanah dan sertifikasi.
b.      Birokrasi atau BPN seharusnya, dengan alasan pada bagian a di atas, seharusnya tidak memproses lanjut permohonan pendaftaran tanah dalam rangka sertifikasi tanah. Pengangkatan sita jaminan yang dilakukan oleh pengadilan negeri dan dikuatkan oleh pengadilan tinggi tidak berarti bahwa tanah tersebut tidak dalam sengketa.
                    Di satu sisi, Putusan pengadilan perdata yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap, karena proses kasasi masih berjalan, digunakan oleh BPN untuk memproses lanjut sertifikasi. Di sisi lain, fakta hukum yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap di pengadilan pidana, dikesampingkan oleh BPN.
                    Sebenarnya, kalau para pihak yang terkait mempelajari dengan cermat, yurisprudensi mengenai hal tersebut telah ada. Yurisprudensi tersebut memberi keseimbangan bagi para pihak dalam hal memohon proses sertifikasi. Dalam yurisprudensi MA no. 1588/K/Pdt/2001 terdapat kaedah hukum yang menyatakan sebagai berikut :
                    Sertifikat tanah yang terbit terlebih dulu dari akta jual beli tidak berdasarkan hukum dan dinyatakan batal. Penerbitan sertifikat tanpa ada pengajuan dari pemilik adalah tidak sah
                    BPN seyogianya menunda proses sertifikasi, karena tanah tersebut masih dalam status sengketa. BPN juga tahu bahwa girik, petuk pajak ataupun Letter C yang diajukan oleh masyarakat dalam proses pendaftaran tanah dan sertifikasi bukan merupakan alat bukti pemilikan atas tanah.
                  Masyarakat, dan para pihak lainnya yang dalam proses jual beli tanah adalah dengan itikad baik, akan dirugikan dengan adanya persoalan tersebut. Upaya hukum bagi masyarakat yang dirugikan dari kasus ini adalah antara lain:
a.      Melakukan perlawanan (verzet) atas putusan mahkamah agung
b.      Melakukan gugatan perdata kepada Juhri Cs
c.      Melakukan gugatan tata usaha negara kepada Badan Pertanahan Nasional
d.      Mencari dengan cara sendiri-sendiri upaya perdamaian atau upaya lain untuk mempertahankan hak-haknya