Kamis, 17 Februari 2011

Fungsi Hukum


A.   MAKNA DAN FUNGSI HUKUM
Di dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) kata fungsi diartikan sebagai kegunaan sesuatu. Jika arti leksikal ini digunakan sebagai dasar pemaknaan, maka fungsi hukum padan sengan kegunaan hukum. Pembahasan fungsi hukum akan berujung pada jawaban atas pertanyaan ilmiah “untuk apa hukum”. Disamping pemahaman secara etimologis ini, fungsi dapat pula dipahami sebagai suatu prespektif mengandung makna sebagai keseluruhan gagasan berupa proposisi, dalil, teori maupun metode yang dijadikan sudut poandang untuk mengaji suatu objek.
Perlu dikemukakan di sini pernyataan Lawrence M. Freedmann, bahwa “rules may involve or lay down some strategy for dealing with major deviations from the norm with disorders or emergencies to great that they amount to a crisis in the system”  (aturan hukum diharapkan dapat menyusun langkah-langkah untuk mengatasi krisis yang terjadi di dalam suatu sistem sebagai akibat penyimpangan terhadap norma disertai adanya keadaan yang amat genting). Pendapat Lawrence M.  Freedman ini merupakan pencerminan fungsi hukum untuk menyelesaikan konflik atau perselisihan.
Fungsi apakah yang bisa diemban oleh hukum? Jawaban atas pertanyaan ini akan menunjukkan perkembangan cara pandang orang terhadap hukum.

B.   MENYELESAIKAN PERSELISIHAN
    
Perselisihan atau konflik selalu ada atau terjadi di masyarakat. Hukum dapat tampil untuk menyelesaikan konflik. Pernyataan ini tentu saja dengan kesadaran bahwa masih ada pranata atau mekanisme lain yang juga dapat tampil untuk menyelesaikan konflik. Karena berbagai hal, sering hukum tampil amat menonjol untuk menyelesaikan konflik. Oleh karena itu, tidak berlebihan pernyataan Lee S. Weinberg dan Judith W. Weinberg bahwa menyelesaikan konflik merupakan fungsi kunci dan paling mendasar hukum. Pranata lain harus selalu ada unsur kesukarelaan atau pengorbanan hak oleh pihak atau pihak-pihak yang berselisih. Contohnya, ada sepasang suami istri. Si istri lebih berhasil dalam berkaries. Ia lebih banyak menghasilkan harta bagi keluarganya. Karena suatu sebab pasangan ini bercerai. Mereka berselisih mengenai pembagian harta bersama. Kenyataannya, harta bersama lebih banyak dihasilkan oleh istri. Karena fiksi hukum, harta tersebut menjadi harta bersama. Di dalam suatu perundingan, dengan dipandu oleh tokoh yang berpengaruh, suami rela hanya mendapat seperempat dari harta bersama. Penyelesaikan konflik tanpa menggunakan mekanisme hukum ini mengandung kerelaan. Jika si suami tidak melepaskan haknya atau dengan perkataan lain ia tidak rela, maka hukum tampil untuk menyelesaikan perselisihan tersebut. Masing-masing pihak akan mendapat setengah bagian, tanpa melihat orang atau pihak yang sesungguhnya menghasilkan harta bersama itu.
Contoh mengenai fungsi hukum untuk menyelesaikan perselisihan adalah pasal 32 huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan. Didalam pasal ini ditegaskan bahwa Jaksa Agung berwenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Kewenangan Jaksa Agung untuk mengesampingkan perkara (maksudnya adalah tindak pidana) merupakan fungsi hukum untuk menyelesaikan perselisihan yang amat menonjol. Misalnya, ada orang yang amat berpengaruh di masyarakat diduga melakukan tindak pidana. Jika orang ini diajukan dalam persidangan pidana dan kemudian dipidana, amat besar keungkinan timbul persoalan-persoalan atau kerawanan-kerawanan sosial yang lebih besar. Untuk menghidarkan timbulnya hal-hal tersebut lebih baik orang itu tidak diajukan ke persidangan pidana. Caranya, perkaranya dikesampingkan. Kewenangan pengesampingan ini hanya dimiliki oleh Jaksa Agung. Ilustrasi ini menampakkan fungsi hukum yang sesungguhnya untuk menyelesaikan perselisihan.


C.   MENGENDALIKAN MASYARAKAT SOSIAL

Pada mulanya para pemikir hukum berpendapat bahwa hukum hanya berfungsi untuk menjaga agar masyarakat tetap berada dalam pola-pola tingkah laku yang telah diterima oleh mereka. Dalam fungsi ini hukum hanya mempertahankan apa yang telah menjadi sesuatu tetap dan diterima oleh masyarakat. Dengan perkataan lain, hukum berfungsi sebagai penjaga status quo. Inilah yang sering dikatakan hukum berfungsi sebagai kontrol atau pengendali sosial (social control).
Setiap masyarakat pasti memerlukan mekanisme pengendalian sosial agar tata-gaul mereka terlaksana dengan tertib. Dalam kaitan ini Joseph S. Roucek menegaskan bahwa mekanisme pengendalian sosial (mechanism of social control) adalah segala sesuatu yang dilakukan untuk melaksanakan proses yang direncanakan maupun yang tidak direncanakan untuk mendidik, mengajak atau bahkan memaksa warga masyarakat agar menyesuaikan diri dengan kaidah-kaidah dan nilai-nilai kehidupan masyarakat itu. Dalam hal kehidupan masyarakat berjalan secara normal, fungsi hukum sebagai kontrol sosial ini tidak begitu kelihatan. Fungsi hukum sebagai kontrol sosial baru kelihatan dengan jelas apabila terjadi gangguan atau ketidaknormalan dalam masyarakat, misalnya terjadi pembunuhan, pencurian, penipuan, orang utang tidak mengembalikan, dan lain-lain. Lewat mekanisme yang siatur oleh hukum, pembunuh, pencuri, dan penipu (dipaksa) dijatuhi pidana, sedangkan orang yang tidak bersedia melunasi utangnya dan orang yang tidak bersedia melunasi utangnya dan orang yang tidak bersedia mengembalikan barang yang dipinjamnya dipaksa untuk melunasi utangnya dan mengembalikan barang yang dipinjamnya.
Meskipun fungsi hukum sebagai kontrol sosial dalam masyarakat yang dalam keadaan normal agak sulit ditampakkan, tetapi ternyata Bronislaw Malinowski berhasil menampakkan (membuktikan) fungsi hukum dalam masyarakat yang demikian itu. Ia berpendapat bahwa hukum tidak hanya berfungsi (berperan) dalam keadaan-keadaan yang penuh kekerasan dan pertentangan, tetapi hukum juga berperan dalam aktivitas sehari-hari. Dengan perkataan lain, Malinowski berusaha untuk menghilangkan kesan bahwa hukum semata-mata merupakan paksaan. Pokok pikiran Malinowski ini terkenal dengan asas (prinsip) resiprositas. Ia berpendapat bahwa intisari hukum terjalin dalam prinsip resiprositas.
Fungsi hukum sebagai kontrol hukum sosial atau pengendali sosial sudah tidak diragukan lagi, baik oleh sosiolog, antropolog, bahkan oleh filsuf, meskipun bahasa pengungkapannya berlainan. Yang analisisnya tidak mudah adalah kapan tata gaul didalam masyarakat itu dikendalikan oleh mekanisme hukum atau mekanisme kebiasaan. Beberapa sosiolog berpendapat bahwa ada beberapa kaidah yang untuk penerapannya memerlukan dukungan dari kekuasaan yang terpusat. Kaidah-kaidah yang demikian inilah yang disebut kaidah hukum. Sementara itu, beberapa pemikir lainnya mengatakan bahwa hukum dan kebiasaan dibedakan atas dua kriteria, yakni dari sumber sanksinya dan pelaksanaannya. Sumber sanksi dan pelaksanaan kebiasaan adalah individu atau kelompok, sedangkan hukum didukung oleh kekuasaan yang terpusat. Leopold Pospisil, seorang antropolog, mengatakan bahwa untuk membedakan hukum dengan kaidah-kaidah lainnya dikenal adanya atributtesof law, yaitu sebagai berikut:
1.    Attributes of authority ; hukum merupakan keputusan dari pihak yang berkuasa.
2.    Attributes of intention of universal application ; segala keputusan hukum harus mempunyai daya jangkau yg cukup panjang (lama) untuk masa yang akan datang.
3.    Attribute of obligation ; keputusan hukum harus bertimbal-balik. Maksudnya harus berisikan hak dan kewajiban pihak yang satu terhadap pihak yang lain dan sebaliknya.
4.    Attribute os sanction ; supaya segala keputusan penguasa dapat terlaksana dengan baik, ia harus didukung oleh instrumen sanksi. Sanksi ini harus didasarkan pada kekuasaan.
Meskipun secara teori kaidah hukum dapat dibedakan dengan kaidah-kaidah sosial lainnya, tetapi kenyataannya kaidah hukum bersama-sama dengan kaidah sosial lainnya merupakan unsur yang membentuk mekanisme pengendalian sosial.


D.  MENGGERAKKAN PERUBAHAN MASYARAKAT
    
Setelah dalam waktu yang lama sekali para pemikir berpendapat bahwa hukum hanya dapat berfungsi sebagai kontrol atau pengendali sosial,a khirnya, terutama setelah ilmu potlitik, ilmu sosial, dan ilmu negara berkembang pesat, para pemikir berpendapat bahwa hukum juga dapat dijadikan sarana untuk menggerakkan perubahan masyarakat (law is a tool of social engineering).
Dari waktu ke waktu masyarakat selalu mengalami perubahan. Pada mulanya orang berpendapat bahwa perubahan itu hanya bersifat alamiah atau terjadi dengan sendirinya. Setelah penelitian terus-menerus dilakukan ada fakta bahwa perubahan masyarakat itu ada yang (dapat) direncanakan oleh sekelompok orang atau lembaga. Cara-cara untuk memengaruhi perubahan dalam masyarakat dengan sistem yang teratur dan direncanakan lebih dulu dinamakan social engineering atau social planning. Dalam kaitan ini Profesor Soerjono Soekanto mengatakan bahwa hukum mungkin dipergunakan sebagai alat oleh agent of change  atau pelopor perubahan. Agent of change atau pelopor perubahan adalah seseorang atau kelompok orang yang mendapatkan kepercayaan dari masyarakat sebagai pemimpin lembaga kemasyarakatan. Pelopor perubahan memimpin masyarakat dalam mengubah sistem sosial dan dalam melaksanakan masyarakat dalam mengubah sistem sosial dan dalam melaksanakan hal itu langsung tersangkut dalam tekanan-tekanan untuk mengadakan perubahan.
Sebagai suatu organisasi yang memiliki tujuan sosial yang jelas, negara-negara modern tidak dapat mengelakkan dirinya untuk secara sadar menggunakan hukum sebagai sarana mengadakan perubahan. Negara sering menggunakan hukum atau tepatnya perundang-undangan sebagai sarana untuk mengadakan perubahan sosial. Dengan meletakkan kewajiban dan menimbulkan hak pada seluruh individu dalam masyarakat yang sebelumnya tidak dikenal tetapi keadaannya berlainan, perundangan-undangan membangun (mengadakan) perilaku baru dalam masyarakat ity. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa peranan yang dilakukan oleh hukum untuk menimbulkan perubahan dalam masyarakat bisa bersifat langsung atau tidak langsung. Dalam peranannya yang bersifat tidak langsung, misalnya hukum dapat menciptakan lembaga-lembaga dalam masyarakat yang pada gilirannya akan menyebabkan timbulnya perubahan dalam masyarakat. Dengan lahirnya Undang-undang nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, efeknya pendirian bank perkreditan rakyat sangan dipermudah. Lancarnya oermodalan dalam lalu lintas perekonomian masyarakat pedesaan pada gilirannya akan dapat memacu pertumbuhan ekonomi. Di samping itu, hukum juga berperan langsung dalam perubahan sosial. Lahirnya Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana telah menimbulkan perubahan besar dalam bidang hukum pidana formal di Indonesia. Perilaku para penegak hukum, misalnya polisi, jaksa, dan hakim, telah diubah dengan diadakannya pembatasan-pembatasan untuk menghormati hak-hak (asasi) tersangka maupun terdakwa.
Penjelasan C. J. M. Schuyt mengenai makna hukum sebagai social engineering dapat dikatakan sangat memadai. Ia mengatakan bahwa undang-undang merupakan sarana yang dipergunakan orang untuk mencoba menimbulkan perubahan sosial yang nyata. Penguasaan atau pengarahan sosial ini juga disebut social engineering.
Karena Social Engineering dengan menggunakan sarana perundang-undangan sangat berkepentingan untuk melihat hasil yang ditimbulkan oleh pekerjaan mengatur itu, maka hubungan antara tujuandan cara-cara yang dipergunakan menjadi mengedepan. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila untuk menentukan cara-cara yang akan ditempuh diperlukan penyelidikan dalam masyarakat. Tunjangan metode-metode yang dipergunakan dalam ilmu-ilmu sosial tentu akan menghasilkan sesuatu yang lebih baik. Adam Podgorecki mengemukakan adanya empat asas yang merupakan suatu keharusan dalam usaha social engineering sebagai berikut:
1.    Penggambaran situasi yang dihadapi dengan baik.
2.    Analisis terhadap penilaian-penilaian dan menentukan susunan jenjang nilai-nilai tersebut.
3.    Verivikasi hipotesis-hipotesis.
4.    Pengukuran efek undang-undang yang ada.
Sasaran yang hendak dicapai oleh social engineering adalah menggerakkan tingkah-laku atau mencapai keadaan yang dikehendaki. Dalam kaitan ini Profesor Satjipto Rahardjo menegaskan bahwa peraturan-peraturan yang nantinya dilepaskan ke dalam masyarakat bukan merupakan satu-satunya sarana yang mengatur tingkah-laku anggota masyarakat. Di luar hukum, anggota masyarakat masih dibatasi oleh berbagai macam unsur kekuatan yang melingkunginya dan yang tidak kalah pentingnya adalah bekerjanya faktor-faktor personal atas diri mereka. Perubahan-perubahan yang dikehendaki itu apabila berhasil, pada akhirnya akan melembaga seperti pola-pola tingkah laku yang baru di masyarakat.
Ikiran-pikiran bahwa hukum dapat dijadikan sarana untuk mengadakan perubahan sosial tidak mungkin bagi penganut aliran sejarah (historis). Frederich Carl Von Savigny sangat menyangkal bahwa hukum dapat digunakan sebagai sarana mengadakan perubahan sosial. Pokok pikiran para penganut aliran sejarah mengatakan bahwa hukum tumbuh dan berkembang bersama dengan tumbuh dan berkembangnya masyarakat. Menurut Savigny, kaidah-kaidah nonhukum selalu ada lebih dulu daripada kaidah-kaidah hukum. Faktanya kaidah-kaidah nonhukum itu tidak dapat (dan tidak mungkin) diubah oleh kaidah-kaidah hukum. Perubahan yang terjadi atas kaidah nonhukum itu hanya mungkin terjadi melewati suatu proses panjang dalam tata-gaul kehidupan sehari-hari dalam masyarakat.
Di dalam bentuk yang lebih modern dapat dijumpai pendapat sealiran dengan Savigny tersebut, yakni teori yang dikemukakan oleh Karl Marx. Menurut Marx, hukum tidak dapat dipergunakan sebagai sarana mengadakan perubahan dalam masyarakat. Hukum dan lembaga-lembaga sosial lainnya merupakan struktur atas ekonomi dan teknologi. Hukum senantiasa ketinggalan dari perkembangan dua bidang itu. Hal ini berarti pula bahwa hukum selalu ketinggalan dari perubahan-perubahan sosial yang ditimbulkan oleh dua bidang itu.
Meskipun ada pikiran-pikiran yang tidak menyetujui penggunaan hukum sebagai sarana untuk mengadakan perubahan dalam masyarakat secara sadar dan terencana, tetapi kenyataan menunjukkan bahwa perundang-undangan merupakan tumbuan negara untuk mewujudkan kebijaksanaannya. Robert B. Seidman mengatakan bahwa tata hukum merupakan saringan (filter) terhadap kebijaksanaan pemerintah. Maksudnya, di antara berbagai kemungkinan tindakan, maka tindakan mana yang dapat dilaksanakan.
Walaupun diakui bahwa hukum mempunyai kemampuan sebagai sarana menggerakkan perubahan sosial, tetapi pengakuan ini dibarengi oleh kesadaran bahwa kemampuan hukum tersebut mempunyai keterbatasan-keterbatasan. Keterbatasan ini terutama disebabkan oleh hal-hal berikut. Hukum mengatur dan melingkupi hampir seluruh kehidupan manusia dalam masyarakat. Sementara itu, di dalam kehidupan bermasyarakat terdapat banyak bidang (segi). Di antara banyak bidang ini ada yang mudah menerima pengaruh luar (misalnya pengaruh dari hukum) dan ada bidang yang sulit menerima pengaruh dari luar. Terhadap bidang-bidang yang mudah (dapat) menerima pengaruh dari luar inilah hukum dapat dijadikan sarana untuk menggerakkan perubahan sosial, misalnya menjadikan masyarakat gemar menabung lewat serangkaian peraturan yang mempermudah kegiatan itu dan lain-lain. Bidang-bidang yang mudah menerima pengaruh dari luar ini terutama adalah bidang perdagangan atau hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan perekonomian. Sementara itu, ada bidang-bidang yang amat peka terhadap perubahan, misalnya perkawinan, kekerabatan, kewarisan, dan lain-lain. Bidang-bidang ini praktis sangat sulit menerima pengaruh dari luar, termasuk pengaruh dari hukum.
Melihat kenyataan keterbatasan kemampuan hukum untuk menggerakkan perubahan sosial itu, dapat dimengerti apabila ada pemikir yang berpendapat bahwa sesungguhnya hukum tidak mempunyai kemampuan untuk menggerakkan perubahan sosial. Pemikir yang demikian ini barangkali hanya melihat bidang-bidang yang tidak dapat (sangat sulit) menerima pengaruh dari luar.
Di samping hal-hal yang telah diuraikan tersebut perlu ditegaskan bahwa perubahan sosial tidak selalu membawa keadaan yang positif. Dalam kaitan ini hukum berperan untuk menjamin agar perubahan sosial itu terjadi dengan teratur. Meskipun demikian, sebagai alat (sarana) pengubah sosial dan menjamin keteraturan proses perubahan itu, hukum mempunyai batas-batas kemampuan dan terikat oleh kondisi tertentu. Soerjono Soekanto mengatakan bahwa apabila batas-batas dan kondisi ini diperhatikan, dimengertian, dan diterapkan, maka dapat diperkirakan penggunaan hukum sebagai alat mempunyai harapan yang positif dalam mengubah masyarakat serta mendukung pembangunan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar